Semangat Kolonial di Produk Hukum

Konflik lahan adalah masalah yang sudah berlangsung lama, bahkan sejak era kolonial Belanda. Sayang, hingga kini belum ada penyelesaian menyeluruh terhadap sengketa agraria ini. Berikut sekilas peraturan agraria dari masa ke masa.

1870 : Belanda membuat peraturan ‘domeinverklering’ bahwa semua tanah petani yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan sertifikat pengadilan otomatis berstatus tanah negara. Petani cuma menyewa. Dimulai era kepastian hukum bagi investor yang hendak menanam modal di wilayah koloni dan era tanam paksa berakhir, berganti denga era liberalisasi ekonomi dengan masuknya pemodal dari Eropa.

1960 : Pemerintah RI membuat UU Pokok Agraria yang menolak asas ‘domenverklaring’. Negara tidak lagi jadi pemilik tanah, melainkan lebih sebagai badan yang mengurusi pertanahan. UU ini sebenarnya bisa memberikan rasa keadilan kalau saja diterapkan secaran konsekuen.

1967 : Orde Baru membuat UU Pokok-pokok Kehutanan tahun 1967. UU ini tidak mempertimbangkan UU Pokok Agraria 1960. Pemberian hak pengusahaan hutan yang sering disertai gelombang penggusuran masyarakat adat dari kawasan hutan dimulai.

1992 : Gubernur Sulawesi Tengah mengeluarkan surat edaran ke semua bupati yang menyatakan bahwa semua tanah di SulTeng adalah tanah negara, kecuali yang telah mendapatkan sertifikat kepemilikan dari pemerintah. Pembuatan sertifikat tanah yang tadinya belum bersertifikat (termasuk tanah adat) harus melalui prosedur pemberian hak atas tanah negara. Surat edaran ini secara substansi tidak berbeda dari ‘domeinverklaring’ keluaran pemerintah kolonia Belanda pada 1870.

1999 : UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa semua milik negara. Penetapan apakah sebuah wilayah itu hutan merupakan kewenangan Kementerian Kehutanan.

2004 : UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan memberikan legalitas sangat kuat kepada perusahaan-perusahaan perkebunan melakukan pengamanan dengan berkoordinasi pada aparat setempat.

2007 : UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil membolehkan swasta melakukan privatisasi wilayah pesisir dan menyebbkan terabaikannya hak komunitas nelayan yang telah lama bermukim. Pasal-pasal terkait privatisasi telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, tapi tidak berlaku surut. Izin privatisasi wilayah pesisir yang telanjur dikeluarkan tetap berlau, yang rata-rata bermasa 20 tahun.

2009 : UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara menyatakan,negara memiliki hak lebih besar atas sumber agraria. Penetapan wilayah pertambangan tidak mengharuskan adanya persetujuan publik. Pasal 162 sebaliknya mengamcam hukuman pidana kepada pihak yang menganggu usaha pertambangan berizin. Pasal-pasal ini sudah digugat di Mahkamah Konstitusi dan masih diproses.

Sumber : Gatra, 5 Januari 2012

Tinggalkan komentar